penyejuk

penyejuk

Selasa, 20 Agustus 2013

Etnis Cina (Kaum Minorotas di Indonesia)



“Etnis Cina sebagai Kaum Minoritas di Indonesia yang Sulit Berbaur dengan Masyarakat Indonesia”
Oleh Reza Azhari
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya seperti suku, agama, ras, dan etnis. Keanekaragaman itulah yang membuat Indonesia menjadi negara Multikultural yang dihuni oleh beberapa etnis diantaranya etnis Cina. Etnis Cina memang telah lama menjadi bagian dari Indonesia, kita juga pasti mengenal sosok seperti Hary Tanoesoedidjo, Agnes Monica, Susi Susanti, Alan Budi Kusumah, dan Liem Swi King. Nama-nama tersebut merupakan sebagian kecil dari etnis Cina yang ada di Indonesia. Tapi tahukah anda, bahwa etnis Cina pernah atau mungkin sekarang juga masih mengalami hari-hari yang buruk sebagai warga negara Indonesia dan sulit untuk diterima menjadi bagian dari warga negara Indonesia serta sulit untuk berbaur dengan masyarakat Indonesia. Apa yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi serta apa saja solusi untuk mengatasi masalah tersebut? Mari kita simak artikel ini dengan seksama.
Sejarah etnis Cina di Indonesia
Sebelum kita membahas tentang perkembangan dan masalah-masalah yang dialami oleh etnis Cina, kita lihat dahulu bagaimana sejarah kedatangan etnis Cina sehingga
bisa datang dan mendiami Indonesia.
Etnis Cina atau sering disebut sebagai Etnis Tionghoa sudah ada di Indonesia sejak ribuah tahun yang lalu sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945 bahkan sebelum kedatangan orang-orang Eropa menjajah Indonesia. Etnis Cina datang ke Nusantara atau disebut juga Xia Nan Yang (turun ke laut Selatan) sebagai perantau untuk satu tujuan yakni berdagang. Catatan sejarah menuliskan bahwa kedatangan bangsa Cina datang ke Indonesia dilakukan sejak zaman Dinasti Han (206 SM – 220 M). Pada saat itu telah terjadi hubungan dagang antara etnis Cina dengan kerajaan-kerajaan yang ada di kawsan Asia Tenggara dan sejak saat itu pula etnis Cina sudah ada di pulau Jawa (Djawa Dwipa). Etnis Cina semakin bertambah jumlahnya ketika pada akhir Dinasti Ming (1368-1644) dan awal Dinasti Ching (1644-1911), hal ini disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap Dinasti Ming yang menyebabkan peperangan sehingga menimbulkan etnis Cina melakukan imigrasi untk menghindari peperangan. Dan banyak di antara mereka berimigrasi ke daerah Asia Tenggara khususnya Sriwijaya yang bersamaan dengan ekspedisi yang dilakukan Laksamana Cheng Ho ke Nusantara.
Catatan-catatan dari Cina menyebutkan bahwa telah terjadi hubungan antara bangsa Cina dan Nusantara dalam bidang perdagangan, hal tersebut menimbulkan ramainya lalu lintas perdagangan yang terjadi antara Cina dan Nusantara, banyak etnis-etnis Cina yang datang ke Nusantara bahkan telah terjadi hubungan yang lebih erat lebih dari sekedar hubungan kerja, seperti perkawinan, dan ada juga bangsa Cina yang menetap di Nusantara tanpa kembali lagi ke daerah asalnya.
Hubungan antar Etnis Cina ke Indonesia memang telah lama terjalin sejak zaman kerajaan Hindu Buddha. Mulai dari kerajaan Kutai hingga Majapahit telah berinteraksi dengan Etnis Cina dengan berbagai macam alasan, seperti berdagang, dan kebutuhan akan emas oleh Kerajaan Kutai yang meminta pandai besi dari Cina. Bukti lain, menyebutkan kedatangan seorang Bikhu Buddha dari China yang bernama Fa-Hsien pada awal abad tarikh masehi. Selain itu, ada juga bukti yang menyebutkan keikutsertaan etnis Cina yang beragama Islam dalam membangun Kesultanan Demak yang kala itu merupakan salah satu pusat pemerintahan Islam di Nusantara. Hal tersebut dibuktikan dengan kedatangan seorang panglima armada laut yang beragama Islam bernama Laksamana Cheng Ho ke Semarang yang juga menyebarkan agama Islam. Selain itu, mereka juga diberi wewenang oleh Kerajaan Demak untuk menjalankan bandar atau pelabuhan dagang di sekitar Semarang dan Lasem yang dimaksudkan untuk menguasi bandar-bandar laut sisa-sisa kerajaan Singasari dan Majapahit.
Berdagang merupakan tujuan awal yang dilakukan oleh etnis Cina untuk datang ke Indonesia. Mereka datang untuk mencari rempah-rempah dan kemudian karena satu dan lain hal, mereka menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Ada yang melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi bahkan beberapa Sunan di Wali Songo merupakan keturunan etnis Cina, seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Seiring dengan perkembangan zaman, keadaan etnis Cina di Indonesia mengalami pasang surut, mulai dari dijadikan sebagai anak emas hingga beberapa kasus pembantaian etnis Cina. Adapun beberapa perkembangan etnis Cina dari masa ke masa.
Zaman Penjajahan Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, etnis Cina merupakan mitra dagang bagi Belanda sejak berdirinya VOC karena kedua bangsa ini memang tujuan awal datang ke Indonesia untuk berdagang. VOC membagi penduduk di Indonesia menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, golongan Eropa (bangsa Belanda), kelompok kedua golongan Timur Asing (bangsa Cina, Arab, dan India), dan kelompok tiga adalah golongan pribumi. Hal ini dimaksudkan agar bangsa Cina sebagai penengah antara bangsa Belanda dan Pribumi. Dalam kondisi ini bangsa Cina dijadikan sebagai boneka untuk menjajah kaum pribumi.
Dalam perkembangannya hubungan antara pemerintah Belanda dan etnis Cina tak selamanya harmonis, bahkan pernah terjadi pembantaian secara masal yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap etnis Cina pada tahu 1740 yang disebut dengan Chinezenmoord. Hal ini disababkan karena VOC kalah bersaing dengan EIC yang menimbulkan ketakutan akan bangkrutnya VOC di Indonesia, hal ini bersamaan dengan etnis Cina yang sedang berkembang dalam menguasai perdagangan di Nusantara. Kemudian VOC membuat sejumlah peraturan yang megganjal lawan bisnisnya yang diarahkan kepada etnis Cina. Hal ini sangat memberatkan etnis Cina dan menyulut kemarahan dari etnis Cina, mereka pun melancarkan sejumlah kerusuhan, namun sayang tidak berhasil. Belanda pun melancarkan sejumlah penyerangan yang tidak segan-segan untuk membunuh dan memperkosa etnis Cina. Banyak toko-toko dan rumah-rumah yang dijarah dan dibakar. Tercatat 7500 jiwa etnis Cina dibantai dalam peristiwa ini.
Dalam perlakuan hukum, etnis Cina mendapat peradilan yang diskriminatif. Dalam perkara kriminal, etnis Cina yang tertuduh melakukan kriminal maka statusnya disamakan dengan kaum pribumi. Sedangkan, dalam perkara sipil atau perdata yang berkaitan dengan perdagangan, hutang-piutang, dan harta warisan, status etnis Cina disamakan dengan dengan golongan Eropa.
Menjelang akhir abad 19, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan yang membatasi ruang gerak etnis Cina di Indonesia. Pemerintah Belanda mendirikan pusat perkampungan etnis Cina di sejumlah perkotaan yang disebut dengan kampung pecinaan. Mereka benar-benar terisolasi sehingga jurang pemisah antara kaum pribumi dengan etnis Cina semakin dalam, apalagi ketika pemerintah Belanda juga mengharuskan etnis Cina untuk meminta izin ketika ingin melakukan perjalanan. Namun peraturan tersebut baru dihilangkan pada tahun 1925, ketika dijalankannya sistem desentralisasi pemerintah di negara koloni.
Zaman Orde Lama dan Orde Baru
Pada zaman Orde Lama, etnis Cina sangatlah dimanjakan oleh Indonesia bahkan hubungannya pun sangat erat yang dibuktikan dengan hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Etnis Cina mendapat sorakan khalayak ramai sebagai kawan seperjuangan untuk melawan Belanda. Namun keadaan etnis Cina pada masa Orde Baru berbanding terbalik dengan zaman Orde Lama. Pada zaman Orde Baru etnis Cina benar-benar dikesampingkan bahkan ruang geraknya pun sanagn dibatasi. Hal ini disebabkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap sebagai dalam dibalik G 30 S merupakan golongan-golongan Cina. Pada zaman ini segala macam kegiatan keagamaan, adat istiadat Cina, dan hari-hari besar bagi bangsa Cina dilarang untuk dilakukan, bahkan mereka yang masih menggunakan nama berbau Cina harus diganti dengan nama Indonesia asli. Sejak tahun 1967, etnis Cina dianggap sebagai warga asing di Indonesia yang kedudukannya di bawah pribumi. Segala macam bentuk yang berbau Cina dihilangkan, bahkan bahasa-bahasa Cina pun dihilangkan. Selama 30 tahun etnis Cina tidak bisa menikmati kebudyaan mereka sendiri, meskipun demikian hal ini tetap diperjuangkan oleh komunitas pengobatan tradisional Cina yang menulis resep pengobatan dengan tulisan mandarin yang kemudian diizinkan oleh Mahkamah Agung.
Zaman Reformasi
Setelah mengalami masa sulit di zaman Orde Baru, akhirnya etnis Cina bisa mendapatkan titik terang pada zaman Reformasi. Pergantian rezim dari Orde Baru ke Reformasi telah banyak mengalami perubahan, khususnya bagi etnis Cina, pada zaman ini etnis Cina bisa kembali menikmati kebudayaan mereka yang telah dilarang pada zaman Orde Baru. Walaupun, etnis Cina telah bisa kembali lagi beraktivitas semula, namun untuk mereka diterima sebagai warga negara Indonesia dan berbaur dengan masyarakat pribumi tidaklah mudah, masih banyak diskriminasi-diskriminasi yang dilakukan terhadap etnis Cina.
Mengapa Etnis Cina Tidak Bisa Berbaur dengan Masyarakat Pribumi?
Walaupun etnis Cina telah lama mendiami Indonesia bahakn sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, mereka masih dianggapa asing oleh masyarakat pribumi. hal ini disebabkan karena kurang bersosialisasinya etnis Cina dengan warga pribumi. Sebagian besar warga pribumi hanya mengenal etnis Cina di bidang perdagangan saja yakni di pasar, ketika warga pribumi akan membeli sesuatu maka akan berurusan dengan etnis Cina. Dalam hal ini etnis Cina sebagai penjual dan pribumi sebagai pembeli. Tentu dalam hal ini initeraksi antara keduanya sangatlah terbatas dan waktu yang dibutuhkan pun sangatlah sedikit yakni dalam hal tawar menawar barang saja. Hal ini membuat etnis Cina dianggap sebagai binatang ekonomi (economic animal), sehingga memunculkan anggapan bahwa etnis Cina yang mata duitan.
Dominasi etnis Cina dalam bidang perdagangan di Indonesia dimaksudkan untuk bertahan hidup bagi mereka sebagai kaum minoritas. Bidang perdagangan tentu sangat diminati oleh etnis Cina dibandingkan dengan bidang pertanian karena untuk bidang pertanian membutuhkan lahan yang cukup luas sedangkan mereka tak mempunyai lahan seluas itu. Sedangkan, untuk bidang perdagangan mereka hanya membutuhkan lokasi yang strategis agar pembeli dapat menjangkaunya walaupun di atas tanah seluas 9 meter persegi. Selain itu, ada pula peraturan dari pemerintah yang membatasi ruang gerak etnis Cina dalam berbagai hal. Misalnya, bidang kemiliteran yang tertutup bagi etns Cina, akses untuk menjadi pegawai negeri relatif kecil, sulit untuk memasuki perguruan tinggi negeri, dan lain sebagainya. (Kwartanada, 1996: 24)
Keberhasilan etnis Cina dalam bidang perdagangan membuat etnis Cina memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan dengan warga pribumi, apalagi etnis Cina biasanya akan senang jika berbisning dengan sesama etnis Cina dan tidak mempercayai warga pribumi. Hal ini sama halnya ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia yang juga tidak mempercayai warga pribumi untuk diberi modal dalam usaha perdagangan. Pemerintah Indonesia memberi permodalan yang lebih tinggi kepada etnis Cina. Dari hal tersebut tentu menimbulkan kecemburuan sosial, yang menyebabkan adanya sikap “anti Cina”.
Adanya ketimpangan tersebut menimbulkan stratifikasi dalam bidang ekonomi. Etnis Cina memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan dengan warga pribumi. Status ekonomi tersebut terbawa ke dalam bidang sosial dimana etnis Cina hanya bergaul dengan sesama etnis Cina saja dan sulit untuk berbaur dengan warga pribumi yang notabene memiliki perkonomian di bawah mereka. Hal ini ditunjukkan dengan pembangunan rumah etnis Cina yang ditopang dengan pagar-pagar yang tinggi. Tentu hal tersebut menunjukkan adanya jurang pemisah antara etnis Cina kan pribumi. Memang tujuan mereka membangun pagar yang tinggi untuk mengantisipasi pencurian atau perampokkan. Namun kesan yang ditampilkan mengindikasikan bahwa seorang pencurinya pasti berasal dari pribumi.
Saling tidak percayanya dan rasa saling curiga antara etnis Cina dan pribumi berakibat pada kurang berbaurnya etnis Cina dengan pribumi. Memang secara logika sulit bagi suatu komunitas untuk berbaur dengan komutas lainnya bila tak ada saling percara dan saling curiga. Hal ini meyebabkan etnis Cina masih dianggap “warga asing” oleh pribumi, begitupun sebaliknya.
Dari segi agama pun, kebanyakan etnis Cina memiliki kepercayaan yang berbeda dengan warga pribumi yakni Islam. Agama yang dianut oleh etnis Cina seperti Protestan, Katholik,  Buddha, dan yang beragama Islam hanya sedikit. Selain itu, mereka juga masih menganut kepercayaan leluhur mereka yakni Konghucu. Walaupun kepercayaan ini sempat dilarang pada masa Orde Baru, namun mereka tetap menjalankan kepercayaan ini secara diam-diam. Hal ini juga menjadi faktor kurang berbaurnya etnis Cina dengan warga pribumi, sebab di antara warga pribumi yang meiliki latar belakang yang berbeda saja masih ada pergesekan, apalagi dengan etnis Cina yang memiliki perbedaan secara sosiokultural.
Dari sekian banyak etnis Cina yang sulit berbaur dengan pribumi, ada pula etnis Cina yang bisa berbaur dengan pribumu, namun jumlahnya tidak terlalu banyak dan mereka ini biasanya dikatakan sebagai etnis Cina yang kurang beruntung dari segi ekonomi dan mencoba peruntungan dengan berbaur dengan pribumi sekaligus untuk mendapatkan jaminan sosial (social security) dari warga pribumi.
Solusi agar etnis Cina bisa berbaur dengan warga pribumi
Memang sulit untuk menyatukan antara etnis Cina dengan pribumi jika sudah ada jurang pemisah diantara keduanya. Namun, bukan tidak mungkin jika keduanya bisa bersatu untuk membangun Indonesia lebih menjadi lebih baik. Hidup rukun dan penuh dengan keharmonsan tentu menjadi harapan bagi setiap bangsa dimanapun. Demikian halnya dengan etnis Cina dengan Pribumi.
Permasalahan antara etnis Cina dengan warga pribumi agar dapat terpelihara dengan baik, sudah selayaknya penyebutan warga negara pribumi dan non-pribumu haruslah segera dihilangkan, istilah seperti menyebabkan terkotak-kotaknya masyarakat Indonesia dan menjadikan jurang pemisah semakin dalam. Tanamkan pula benih-benih pendidikan bahwa Indonesia merupakan negara yang multikultural yang meliputi keberagaman budaya, agama, ras, etnis, suku, dan bahasa yang satu sama lain harus hidup bersama tanpa ada konflik untuk menjaga keharmonisan Indonesia ke arah yang lebih baik. Sudah saatnya pula kita menghilangkan rasa perbedaan diantara kita dan menghapuskan pendiskriminasi antar masyarakat Indonesia, bahwa diskriminasi hanya akan membuat persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia semakin berkurang. Kita seharusnya menganggap kita sama sebagaui masyarakat Indonesia.


Daftar pustaka
Handoko, T.Y. (2009). Politik Identitas Cina di Indonesia. Skripsi S1 pada FISIP Universitas Sumatera Utara: tidak diterbitkan
Siburian, R. (2010). Etnis Cina di Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya. [Online]. Tersedia: http://pensa-sb.info/wp-content/uploads/2010/11/Etnis-Cina-di-Indonesia.pdf. [15 Agustus 2013]
Sukma, G.S. (2013). Pembantaian Etnis Tionghoa 1740 (Sejarah Hitan Bangsa Indonesia) [Online]. Tersedia: http://gilangswarasukma.blogspot.com/2013/02/pembantaian-etnis-cina-1740-sejarah.html. [16 Agustus 2013]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarmuu...???