“Etnis Cina sebagai Kaum Minoritas di
Indonesia yang Sulit Berbaur dengan Masyarakat Indonesia”
Oleh Reza Azhari
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman
budaya seperti suku, agama, ras, dan etnis. Keanekaragaman itulah yang membuat
Indonesia menjadi negara Multikultural yang dihuni oleh beberapa etnis
diantaranya etnis Cina. Etnis Cina memang telah lama menjadi bagian dari Indonesia,
kita juga pasti mengenal sosok seperti Hary Tanoesoedidjo, Agnes Monica, Susi
Susanti, Alan Budi Kusumah, dan Liem Swi King. Nama-nama tersebut merupakan
sebagian kecil dari etnis Cina yang ada di Indonesia. Tapi tahukah anda, bahwa
etnis Cina pernah atau mungkin sekarang juga masih mengalami hari-hari yang
buruk sebagai warga negara Indonesia dan sulit untuk diterima menjadi bagian
dari warga negara Indonesia serta sulit untuk berbaur dengan masyarakat
Indonesia. Apa yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi serta apa saja solusi
untuk mengatasi masalah tersebut? Mari kita simak artikel ini dengan seksama.
Sejarah etnis Cina di Indonesia
Sebelum kita membahas tentang perkembangan dan
masalah-masalah yang dialami oleh etnis Cina, kita lihat dahulu bagaimana
sejarah kedatangan etnis Cina sehingga
bisa datang dan mendiami Indonesia.
Etnis Cina atau sering disebut sebagai Etnis Tionghoa
sudah ada di Indonesia sejak ribuah tahun yang lalu sebelum Indonesia merdeka
pada tahun 1945 bahkan sebelum kedatangan orang-orang Eropa menjajah Indonesia.
Etnis Cina datang ke Nusantara atau disebut juga Xia Nan Yang (turun ke
laut Selatan) sebagai perantau untuk satu tujuan yakni berdagang. Catatan
sejarah menuliskan bahwa kedatangan bangsa Cina datang ke Indonesia dilakukan
sejak zaman Dinasti Han (206 SM – 220 M). Pada saat itu telah terjadi hubungan
dagang antara etnis Cina dengan kerajaan-kerajaan yang ada di kawsan Asia
Tenggara dan sejak saat itu pula etnis Cina sudah ada di pulau Jawa (Djawa
Dwipa). Etnis Cina semakin bertambah jumlahnya ketika pada akhir Dinasti Ming
(1368-1644) dan awal Dinasti Ching (1644-1911), hal ini disebabkan adanya
penyerangan bangsa Manchu terhadap Dinasti Ming yang menyebabkan peperangan sehingga
menimbulkan etnis Cina melakukan imigrasi untk menghindari peperangan. Dan
banyak di antara mereka berimigrasi ke daerah Asia Tenggara khususnya Sriwijaya
yang bersamaan dengan ekspedisi yang dilakukan Laksamana Cheng Ho ke Nusantara.
Catatan-catatan dari Cina menyebutkan bahwa telah terjadi
hubungan antara bangsa Cina dan Nusantara dalam bidang perdagangan, hal
tersebut menimbulkan ramainya lalu lintas perdagangan yang terjadi antara Cina
dan Nusantara, banyak etnis-etnis Cina yang datang ke Nusantara bahkan telah
terjadi hubungan yang lebih erat lebih dari sekedar hubungan kerja, seperti
perkawinan, dan ada juga bangsa Cina yang menetap di Nusantara tanpa kembali
lagi ke daerah asalnya.
Hubungan antar Etnis Cina ke Indonesia memang telah lama
terjalin sejak zaman kerajaan Hindu Buddha. Mulai dari kerajaan Kutai hingga
Majapahit telah berinteraksi dengan Etnis Cina dengan berbagai macam alasan,
seperti berdagang, dan kebutuhan akan emas oleh Kerajaan Kutai yang meminta
pandai besi dari Cina. Bukti lain, menyebutkan kedatangan seorang Bikhu Buddha
dari China yang bernama Fa-Hsien pada awal abad tarikh masehi. Selain itu, ada
juga bukti yang menyebutkan keikutsertaan etnis Cina yang beragama Islam dalam
membangun Kesultanan Demak yang kala itu merupakan salah satu pusat pemerintahan
Islam di Nusantara. Hal tersebut dibuktikan dengan kedatangan seorang panglima
armada laut yang beragama Islam bernama Laksamana Cheng Ho ke Semarang yang
juga menyebarkan agama Islam. Selain itu, mereka juga diberi wewenang oleh
Kerajaan Demak untuk menjalankan bandar atau pelabuhan dagang di sekitar
Semarang dan Lasem yang dimaksudkan untuk menguasi bandar-bandar laut sisa-sisa
kerajaan Singasari dan Majapahit.
Berdagang merupakan tujuan awal yang dilakukan oleh etnis
Cina untuk datang ke Indonesia. Mereka datang untuk mencari rempah-rempah dan
kemudian karena satu dan lain hal, mereka menetap di Indonesia dan berasimilasi
dengan penduduk setempat. Ada yang melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi
bahkan beberapa Sunan di Wali Songo merupakan keturunan etnis Cina, seperti Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Seiring dengan
perkembangan zaman, keadaan etnis Cina di Indonesia mengalami pasang surut,
mulai dari dijadikan sebagai anak emas hingga beberapa kasus pembantaian etnis
Cina. Adapun beberapa perkembangan etnis Cina dari masa ke masa.
Zaman Penjajahan Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, etnis Cina merupakan mitra
dagang bagi Belanda sejak berdirinya VOC karena kedua bangsa ini memang tujuan
awal datang ke Indonesia untuk berdagang. VOC membagi penduduk di Indonesia
menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, golongan Eropa (bangsa Belanda),
kelompok kedua golongan Timur Asing (bangsa Cina, Arab, dan India), dan kelompok
tiga adalah golongan pribumi. Hal ini dimaksudkan agar bangsa Cina sebagai
penengah antara bangsa Belanda dan Pribumi. Dalam kondisi ini bangsa Cina
dijadikan sebagai boneka untuk menjajah kaum pribumi.
Dalam perkembangannya hubungan antara pemerintah Belanda
dan etnis Cina tak selamanya harmonis, bahkan pernah terjadi pembantaian secara
masal yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap etnis Cina pada tahu 1740 yang
disebut dengan Chinezenmoord. Hal ini disababkan karena VOC kalah bersaing
dengan EIC yang menimbulkan ketakutan akan bangkrutnya VOC di Indonesia, hal
ini bersamaan dengan etnis Cina yang sedang berkembang dalam menguasai
perdagangan di Nusantara. Kemudian VOC membuat sejumlah peraturan yang megganjal
lawan bisnisnya yang diarahkan kepada etnis Cina. Hal ini sangat memberatkan
etnis Cina dan menyulut kemarahan dari etnis Cina, mereka pun melancarkan
sejumlah kerusuhan, namun sayang tidak berhasil. Belanda pun melancarkan
sejumlah penyerangan yang tidak segan-segan untuk membunuh dan memperkosa etnis
Cina. Banyak toko-toko dan rumah-rumah yang dijarah dan dibakar. Tercatat 7500 jiwa
etnis Cina dibantai dalam peristiwa ini.
Dalam perlakuan hukum, etnis Cina mendapat peradilan yang
diskriminatif. Dalam perkara kriminal, etnis Cina yang tertuduh melakukan
kriminal maka statusnya disamakan dengan kaum pribumi. Sedangkan, dalam perkara
sipil atau perdata yang berkaitan dengan perdagangan, hutang-piutang, dan harta
warisan, status etnis Cina disamakan dengan dengan golongan Eropa.
Menjelang akhir abad 19, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan
aturan yang membatasi ruang gerak etnis Cina di Indonesia. Pemerintah Belanda
mendirikan pusat perkampungan etnis Cina di sejumlah perkotaan yang disebut
dengan kampung pecinaan. Mereka benar-benar terisolasi sehingga jurang pemisah
antara kaum pribumi dengan etnis Cina semakin dalam, apalagi ketika pemerintah
Belanda juga mengharuskan etnis Cina untuk meminta izin ketika ingin melakukan
perjalanan. Namun peraturan tersebut baru dihilangkan pada tahun 1925, ketika
dijalankannya sistem desentralisasi pemerintah di negara koloni.
Zaman Orde Lama dan Orde Baru
Pada zaman Orde Lama, etnis Cina sangatlah dimanjakan
oleh Indonesia bahkan hubungannya pun sangat erat yang dibuktikan dengan hubungan
politik Poros Jakarta-Peking. Etnis Cina mendapat sorakan khalayak ramai
sebagai kawan seperjuangan untuk melawan Belanda. Namun keadaan etnis Cina pada
masa Orde Baru berbanding terbalik dengan zaman Orde Lama. Pada zaman Orde Baru
etnis Cina benar-benar dikesampingkan bahkan ruang geraknya pun sanagn
dibatasi. Hal ini disebabkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap
sebagai dalam dibalik G 30 S merupakan golongan-golongan Cina. Pada zaman ini segala
macam kegiatan keagamaan, adat istiadat Cina, dan hari-hari besar bagi bangsa
Cina dilarang untuk dilakukan, bahkan mereka yang masih menggunakan nama berbau
Cina harus diganti dengan nama Indonesia asli. Sejak tahun 1967, etnis Cina
dianggap sebagai warga asing di Indonesia yang kedudukannya di bawah pribumi.
Segala macam bentuk yang berbau Cina dihilangkan, bahkan bahasa-bahasa Cina pun
dihilangkan. Selama 30 tahun etnis Cina tidak bisa menikmati kebudyaan mereka
sendiri, meskipun demikian hal ini tetap diperjuangkan oleh komunitas
pengobatan tradisional Cina yang menulis resep pengobatan dengan tulisan
mandarin yang kemudian diizinkan oleh Mahkamah Agung.
Zaman Reformasi
Setelah mengalami masa sulit di zaman Orde Baru, akhirnya
etnis Cina bisa mendapatkan titik terang pada zaman Reformasi. Pergantian rezim
dari Orde Baru ke Reformasi telah banyak mengalami perubahan, khususnya bagi
etnis Cina, pada zaman ini etnis Cina bisa kembali menikmati kebudayaan mereka
yang telah dilarang pada zaman Orde Baru. Walaupun, etnis Cina telah bisa
kembali lagi beraktivitas semula, namun untuk mereka diterima sebagai warga
negara Indonesia dan berbaur dengan masyarakat pribumi tidaklah mudah, masih
banyak diskriminasi-diskriminasi yang dilakukan terhadap etnis Cina.
Mengapa Etnis Cina Tidak Bisa Berbaur dengan Masyarakat
Pribumi?
Walaupun etnis Cina telah lama mendiami Indonesia bahakn
sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, mereka masih dianggapa asing oleh
masyarakat pribumi. hal ini disebabkan karena kurang bersosialisasinya etnis
Cina dengan warga pribumi. Sebagian besar warga pribumi hanya mengenal etnis
Cina di bidang perdagangan saja yakni di pasar, ketika warga pribumi akan
membeli sesuatu maka akan berurusan dengan etnis Cina. Dalam hal ini etnis Cina
sebagai penjual dan pribumi sebagai pembeli. Tentu dalam hal ini initeraksi
antara keduanya sangatlah terbatas dan waktu yang dibutuhkan pun sangatlah
sedikit yakni dalam hal tawar menawar barang saja. Hal ini membuat etnis Cina dianggap
sebagai binatang ekonomi (economic animal), sehingga memunculkan
anggapan bahwa etnis Cina yang mata duitan.
Dominasi etnis Cina dalam bidang perdagangan di Indonesia
dimaksudkan untuk bertahan hidup bagi mereka sebagai kaum minoritas. Bidang
perdagangan tentu sangat diminati oleh etnis Cina dibandingkan dengan bidang
pertanian karena untuk bidang pertanian membutuhkan lahan yang cukup luas sedangkan
mereka tak mempunyai lahan seluas itu. Sedangkan, untuk bidang perdagangan
mereka hanya membutuhkan lokasi yang strategis agar pembeli dapat menjangkaunya
walaupun di atas tanah seluas 9 meter persegi. Selain itu, ada pula peraturan
dari pemerintah yang membatasi ruang gerak etnis Cina dalam berbagai hal.
Misalnya, bidang kemiliteran yang tertutup bagi etns Cina, akses untuk menjadi
pegawai negeri relatif kecil, sulit untuk memasuki perguruan tinggi negeri, dan
lain sebagainya. (Kwartanada, 1996: 24)
Keberhasilan etnis Cina dalam bidang perdagangan membuat
etnis Cina memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan dengan warga pribumi,
apalagi etnis Cina biasanya akan senang jika berbisning dengan sesama etnis
Cina dan tidak mempercayai warga pribumi. Hal ini sama halnya ditunjukkan oleh
pemerintah Indonesia yang juga tidak mempercayai warga pribumi untuk diberi
modal dalam usaha perdagangan. Pemerintah Indonesia memberi permodalan yang
lebih tinggi kepada etnis Cina. Dari hal tersebut tentu menimbulkan kecemburuan
sosial, yang menyebabkan adanya sikap “anti Cina”.
Adanya ketimpangan tersebut menimbulkan stratifikasi
dalam bidang ekonomi. Etnis Cina memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan
dengan warga pribumi. Status ekonomi tersebut terbawa ke dalam bidang sosial
dimana etnis Cina hanya bergaul dengan sesama etnis Cina saja dan sulit untuk
berbaur dengan warga pribumi yang notabene memiliki perkonomian di bawah
mereka. Hal ini ditunjukkan dengan pembangunan rumah etnis Cina yang ditopang
dengan pagar-pagar yang tinggi. Tentu hal tersebut menunjukkan adanya jurang
pemisah antara etnis Cina kan pribumi. Memang tujuan mereka membangun pagar
yang tinggi untuk mengantisipasi pencurian atau perampokkan. Namun kesan yang ditampilkan
mengindikasikan bahwa seorang pencurinya pasti berasal dari pribumi.
Saling tidak percayanya dan rasa saling curiga antara
etnis Cina dan pribumi berakibat pada kurang berbaurnya etnis Cina dengan
pribumi. Memang secara logika sulit bagi suatu komunitas untuk berbaur dengan
komutas lainnya bila tak ada saling percara dan saling curiga. Hal ini
meyebabkan etnis Cina masih dianggap “warga asing” oleh pribumi, begitupun
sebaliknya.
Dari segi agama pun, kebanyakan etnis Cina memiliki
kepercayaan yang berbeda dengan warga pribumi yakni Islam. Agama yang dianut
oleh etnis Cina seperti Protestan, Katholik,
Buddha, dan yang beragama Islam hanya sedikit. Selain itu, mereka juga
masih menganut kepercayaan leluhur mereka yakni Konghucu. Walaupun kepercayaan
ini sempat dilarang pada masa Orde Baru, namun mereka tetap menjalankan
kepercayaan ini secara diam-diam. Hal ini juga menjadi faktor kurang berbaurnya
etnis Cina dengan warga pribumi, sebab di antara warga pribumi yang meiliki latar
belakang yang berbeda saja masih ada pergesekan, apalagi dengan etnis Cina yang
memiliki perbedaan secara sosiokultural.
Dari sekian banyak etnis Cina yang sulit berbaur dengan
pribumi, ada pula etnis Cina yang bisa berbaur dengan pribumu, namun jumlahnya
tidak terlalu banyak dan mereka ini biasanya dikatakan sebagai etnis Cina yang
kurang beruntung dari segi ekonomi dan mencoba peruntungan dengan berbaur
dengan pribumi sekaligus untuk mendapatkan jaminan sosial (social security) dari
warga pribumi.
Solusi agar etnis Cina bisa berbaur dengan warga pribumi
Memang sulit untuk menyatukan antara etnis Cina dengan
pribumi jika sudah ada jurang pemisah diantara keduanya. Namun, bukan tidak
mungkin jika keduanya bisa bersatu untuk membangun Indonesia lebih menjadi
lebih baik. Hidup rukun dan penuh dengan keharmonsan tentu menjadi harapan bagi
setiap bangsa dimanapun. Demikian halnya dengan etnis Cina dengan Pribumi.
Permasalahan antara etnis Cina dengan warga pribumi agar
dapat terpelihara dengan baik, sudah selayaknya penyebutan warga negara pribumi
dan non-pribumu haruslah segera dihilangkan, istilah seperti menyebabkan
terkotak-kotaknya masyarakat Indonesia dan menjadikan jurang pemisah semakin
dalam. Tanamkan pula benih-benih pendidikan bahwa Indonesia merupakan negara
yang multikultural yang meliputi keberagaman budaya, agama, ras, etnis, suku,
dan bahasa yang satu sama lain harus hidup bersama tanpa ada konflik untuk
menjaga keharmonisan Indonesia ke arah yang lebih baik. Sudah saatnya pula kita
menghilangkan rasa perbedaan diantara kita dan menghapuskan pendiskriminasi
antar masyarakat Indonesia, bahwa diskriminasi hanya akan membuat persatuan dan
kesatuan masyarakat Indonesia semakin berkurang. Kita seharusnya menganggap
kita sama sebagaui masyarakat Indonesia.
Daftar pustaka
Handoko, T.Y. (2009). Politik Identitas
Cina di Indonesia. Skripsi S1 pada FISIP Universitas Sumatera Utara: tidak
diterbitkan
Siburian, R. (2010). Etnis Cina di
Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya. [Online]. Tersedia: http://pensa-sb.info/wp-content/uploads/2010/11/Etnis-Cina-di-Indonesia.pdf. [15 Agustus 2013]
Sukma,
G.S. (2013). Pembantaian Etnis Tionghoa 1740 (Sejarah Hitan Bangsa
Indonesia) [Online]. Tersedia: http://gilangswarasukma.blogspot.com/2013/02/pembantaian-etnis-cina-1740-sejarah.html. [16
Agustus 2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmuu...???